Kamis, 09 Januari 2020

Dia baik.

Pertemuan pertama itu....menyenangkan. Setidaknya aku mendapat kesan yang baik di pertemuan pertama itu. Malam itu ketika aku akhirnya sampai di kamar kost-ku, aku mulai sedikit khawatir. "Dia akan menghubungiku lagi tidak ya?", "Akankah ada pertemuan lainnya setelah ini?", "Akankah ia tetap bersikap sama padaku?", "Haruskah kuhubungi duluan?" dan banyak lagi pertanyaan lainnya. Aku pikir, karena dia sudah mengantarku pulang, bukankah wajar jika kukirimi ia pesan hanya untuk memastikan apa dia sudah sampai rumah dengan selamat atau belum. Selebihnya, setelah itu, jika memang ia tak menghubungiku lagi, ya...sudah. 

Hanya aku atau kalian juga merasakan hal yang sama saat kalian sudah bertemu seseorang untuk pertama kalinya? Karena menurutku, saat berkenalan lewat media sosial, pertemuan pertama adalah moment yang penting. Kesan pertama adalah hal yang penting. Menurutku, pertemuan pertama juga merupakan moment untuk memastikan apakah orang yang kita kenal itu memang sesuai dengan yang kita harapkan, apakah orang itu terlihat sama dengan yang terlihat di photo profile line-nya, apakah kita akan merasa cocok dengannya seperti kita merasa cocok dengan dia saat berbincang melalui whatsapp, apakah mata kita merasa cocok melihat dia secara langsung seperti mata kita merasa cocok dengan melihat dia melalui foto-foto instargam-nya? Bukankah itu inti dari pertemuan pertama?

Aku...bukan orang yang sepercaya diri itu untuk sekadar memuji diriku sendiri kalau aku ini cantik. Aku juga bukan orang yang merasa bahwa aku lebih baik dari siapapun. Pertemuan pertama adalah hal yang selalu membuatku takut. Menurutku, pertemuan pertama itu akan menentukan apakah kedua manusia itu akan tetap saling mengabari atau tidak. Oleh karena itu, aku tak pernah mau secepat itu untuk bertemu saat aku berkenalan dengan seseorang melalui media sosial. Karena jika hanya beberapa hari mengenal lalu langsung bertemu, bukankah tujuan dari pertemuan itu hanya untuk saling menilai physically? Makanya aku tak pernah ingin untuk bertemu secepat itu. Aku lebih suka untuk saling mengenal terlebih dahulu, setidaknya 3 minggu atau mungkin satu bulan. Melalui chatting atau mungkin melalui telepon. Kalau memang niat dari perkenalan itu baik, hal itu tidak akan menjadi masalah, bukan?

Menurutku, jika setidaknya dua manusia sudah saling mengenal lebih jauh terlebih dahulu dengan saling berbagi tentang kisah hidup, berbagi hal yang disukai ataupun tidak, saling mengenal lebih sifat dan karakter satu sama lain, saling berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari dan berbagi hal lainnya. Bukankah itu akan lebih meyakinkan kedua manusia itu apakah memang saling merasa cocok satu sama lain atau tidak? Sehingga, saat pertemuan pertama itu terjadi, penilaian utama bukan lagi hanya soal fisik. Waktu yang sudah dilewati untuk saling berkabar, kecocokan satu sama lain dalam berbagi tentang kehidupan, kenyamanan yang dirasakan melalui cara satu sama lain memberikan perhatian, keterbiasaan untuk saling berkabar dan hal lainnya yang tentu akan menjadi pertimbangan untuk melanjutkan hubungan itu atau tidak, bukan? Akan sangat berbeda dengan pertemuan pertama yang terkesan terburu-buru. Itu menurutku, ya.

Makanya pertemuan pertamaku di akhir bulan Juni 2019 itu agak membuatku khawatir. Karena itu pertama kalinya aku mau menemui seseorang yang baru kukenal beberapa hari dan sampai sekarang aku juga tak menemukan alasannya. Aku saat itu hanya merasa tidak bisa menolak dan memang ingin bertemu. Lalu terjadilah pertemuan pertama itu dengan segala kekakuan yang ada di dalamnya haha.

Malam itu aku akhirnya memutuskan untuk mengirimi dia pesan "kamu sudah sampai rumah?", beberapa menit kemudian pesanku mendapat balasan, dia mengabari bahwa ia sudah sampai rumah. Dia juga bercerita tentang apa yang terjadi saat ia dalam perjalanan pulang. Aku...tak menyangka. Bukankah itu respon yang baik? Dia masih bercerita, tidak hanya sekadar mengabari. Tapi aku masih berpikir "Ah..mungkin karena baru saja bertemu, jadi mungkin masih menghargai saja". Malam itu, setelah pertemuan pertama, kami masih menyempatkan chatting  meskipun sudah larut. Sampai akhirnya salah satu dari kami berhenti membalas karena tertidur. Keesokan harinya, aku masih saja khawatir sampai akhirnya handphone-ku berbunyi. "Pagiiiii" dan beberapa pesan lainnya menyusul datang. Senang? Senang tentu. Tapi khawatir itupun masih saja ada.

"Apa sih yang membuatmu khawatir? Bukannya tinggal disudahi saja jika ia memang tak mengabari lagi? Toh kalian baru beberapa hari mengenal satu sama lain." Itu juga akan menjadi pertanyaanku jika aku berada dalam posisi teman-teman sebagai pembaca (jika ada hehe). Aku akan jawab ya. Sebetulnya dan sejujurnya, yang membuat aku khawatir dia takkan menghubungiku lagi itu karena dia baik. Itu saja. Pertemuan pertama itu benar-benar memberikanku kesan yang baik tentang dia. Sekarang...sepertinya sulit untuk menemukan seseorang seperti dia lagi. Dia memperlakukanku dengan baik, dia bercerita dengan raut wajah yang menyenangkan, dia juga mendengarkan ceritaku dengan seksamanya, aku merasa sangat dihargai olehnya. Satu hal lagi yang membuatku kagum, yaitu bagaimana cara dia berpikir. Saat mendapatkan kesulitan, dia tak menyalahkan keadaan, dia hanya berpikir kalau kesulitan yang ia dapatkan disebabkan oleh kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Ia lebih memilih untuk mengintrospeksi diri daripada menyalahkan keadaan. Aku sangat suka hal itu darinya. Hal-hal itulah yang membuatku khawatir ia akan hilang. Aku juga sebelumnya tak pernah sekalipun secepat ini merasa yakin dengan seseorang yang baru kukenal. Tapi, tak tau mengapa, aku merasa...he's just different.

Tak disangka-sangka ternyata komunikasi diantara kami terus berlanjut, meskipun aku masih bertanya-tanya tentang akankah ada pertemuan kami yang selanjutnya. Kami masih terus saling berbagi soal kehidupan satu sama lain, hobi ataupun hal-hal yang kami sukai. Melalui obrolan itu ternyata membawa kami untuk merencanakan pertemuan selanjutnya di hari yang sama seperti pertemuan pertama kami, hari Sabtu. Kami melewati hari demi hari dengan tetap saling mengabari dan tetap bercerita tentang apa yang kami lewati setiap harinya. Dia dengan pekerjaannya yang menuntut ia untuk pergi ke berbagai kota setiap harinya dan aku dengan segala kerumitan pengerjaan skripsiku saat itu. Rasanya ingin segera hari Sabtu saja.

Hari demi hari akhirnya terlewati, aku makin kebingungan tentang pakaian apa yang harus kukenakan hari Sabtu besok. Wanita haha. Waktu itu kami merencanakan untuk pergi ke kebun binatang, dia ingin memenuhi keinginanku untuk pergi ke sana. Konyol memang. Tapi jangan tanya mengapa, aku hanya sangat ingin ke sana selama aku kuliah dan tinggal di kota ini. Tapi tak pernah ada yang mau menemani. Wajar.

Lalu hari Sabtu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Tapi sayang, dia ternyata ada keperluan di pagi hari. Sehingga rencana ke kebun binatang sejak pagi hari tak bisa kami lakukan. Tapi dia tetap mengajakku bertemu, itu saja sudah membuatku senang. Dia mengajakku menonton film (lagi). Ia ternyata sangat senang menonton film dan aku juga pastinya sangat senang bisa menemani dia menonton. Kami pun kembali berada dalam perjalanan, berdua, dia juga kembali menjemputku. Kami kembali berbagi tentang banyak hal saat berada dalam perjalanan. Tapi kali ini kami tidak terlambat lagi, kami sampai sebelum film dimulai. Sama seperti sebelumnya, kami juga pergi makan malam setelah menonton. Tapi kali ini, kami tidak makan di restoran yang ada di mall yang kami kunjungi. Kami ke tempat makan yang ada di tempat lain. Rasanya senang sekali setiap kami mengobrol di perjalanan. Aku sangat menikmati setiap perjalanan yang kami lewati. Jika kamu membaca ini, maaf ya, tapi aku senang sekali saat jalanan macet dan ramai. Karena itu membuat perjalanan terasa lebih lama. Memang, kami tak setiap saat mengobrol, ada saatnya kami terdiam dan hanya menikmati suasana pada saat itu. Tapi sungguh, aku menikmati setiap detik yang kami lewati. Aku menikmati saat kami mendengarkan musik yang ia putar di dalam mobil, mendengarkan dia yang ikut bernyanyi, menikmati kemacetan dan melihat lampu-lampu yang menerangi sepanjang jalan yang kami lewati. Itu moment yang paling aku sukai dalam setiap pertemuan kami.

Dia pun masih sama. Masih dengan senyumnya yang tak pernah lepas dari wajahnya setiap bercerita. Masih dengan dia yang mendengarkan setiap ceritaku dengan baik. Masih dengan dia yang membuatku merasa sangat dihargai dan dijaga. Masih dengan dia yang sama seperti pertama bertemu.

Setelah itu, kami masih terus bertemu setiap hari Sabtu. Kalau kata salah satu temanku "kegiatan rutin di hari Sabtu" katanya. Minggu keempat, yang berarti perkenalan kami yang ke satu bulan, kami tak bertemu. Bukan karena tidak bisa. Saat itu dia tak merencanakan pertemuan seperti minggu minggu sebelumnya. Aku tentu sangat ingin bertemu. Aku bercerita padanya kalau aku satu hari ini hanya berdiam diri di kamar dan kebanyakan temanku tidak bisa menemaniku pergi pada saat itu. Lalu dia bertanya "ngga ngajak aku?". Aku cukup tersentak dengan pertanyaan itu. Aku baru menyadari bahwa selama ini aku hanya menunggu dia mengajakku untuk bertemu. Aku sama sekali tak pernah mengajaknya duluan. Aku juga tersadar bahwa dalam suatu hubungan itu tidak hanya soal diberi tapi juga memberi. Bukan menunggu diajak saja tapi juga mengajak.

Minggu selanjutnya kami bertemu kembali, seterusnya seperti itu bahkan sampai sekarang aku menulis ini, Januari 2020. Kami semakin dekat. Kami saling bertemu dengan keluarga satu sama lain, meskipun aku baru sekali diajaknya untuk bertemu keluarganya. Sedangkan dia sering menjemput atau mengantarku pulang dan bertemu Papaku, karena sekarang aku tinggal bersama Papa di kota ini. Banyak hal yang kami lewati. Akan kuceritakan hal-hal yang menurutku menarik untuk diceritakan nanti, ya. Meskipun tak bisa dipungkiri jika perubahan itu akan selalu ada dalam suatu hubungan. Perubahan seperti apa? Nanti yaa kuceritakan hehe. Yang terpenting, perubahan itu tak mengurangi rasa senangku.




-Irma Ruby Ardelia-

Rabu, 08 Januari 2020

Akankah ada pertemuan lainnya?

Dia baik sekali. Seseorang ini baru saja kukenal satu bulan lebih beberapa hari. Dia...mengapa begitu baik padaku? Aku sejujurnya sangat takut jika lagi lagi dia adalah hanya salah satu orang yang datang sekadar untuk singgah. Bukan untuk seterusnya menetap. Benar benar takut rasanya, karena sepertinya rasa nyaman itu sudah mulai hadir kembali. Aku tak begitu suka tentang hal itu, karena bisa saja, bahkan sangat memungkinkan, rasa nyaman itu hanya akan menjadi hal yang menyakitkan pada akhirnya. Aku benar benar lelah membayangkan jika aku harus melewati fase-fase itu lagi, fase-fase yang sudah berulang kali aku lewati. Mengapa semua lelaki seperti itu? Buktikan padaku jika memang benar tidak semua lelaki itu sama. 

Tapi tak tau mengapa, aku rasanya begitu yakin dengan sosok baru ini. Aku, sejujurnya, bukan orang yang mudah percaya pada orang baru apalagi setelah aku melewati banyak hal sebelumnya. Aku juga bukan orang yang mudah mengiyakan ajakan orang baru untuk sekadar pergi berjalan-jalan, setidaknya butuh 3 minggu atau satu bulan bahkan lebih untukku sampai aku mau untuk bertemu dengan orang baru yang kukenal lewat media sosial. Namun kali ini berbeda. Aku merasakan hal yang berbeda. 

Saat itu baru saja beberapa hari aku mengenal orang ini, kurang dari satu minggu. Entahlah bagaimana ceritanya sampai kami mulai intens chatting dan terbiasa mengabari satu sama lain, sampai berbagi cerita tentang kehidupan. Aku belum banyak tau tentangnya pada saat itu, bahkan umurnya pun aku tak tau. Sampai akhirnya dia mengajakku bertemu dan aku bahkan sampai sekarang tak pernah mendapatkan jawabannya mengapa aku mengiyakan ajakan itu. Ajakan dari seseorang yang baru kukenal beberapa hari. Rasanya aku tak ingin menolak, entahlah bagaimana aku harus menjelaskan perasaan ini, tapi aku benar benar tak ingin menolak. Padahal, jujur saja, hari itu bukan hanya orang ini yang mengajakku untuk bertemu, bahkan ada orang lain yang sudah chatting denganku lebih lama juga mengajakku bertemu. Tapi rasanya berbeda, aku merasa takut dan tak sedikitpun ingin mengiyakan ajakan orang itu.

Gugup? Iya. Takut? Tentu. Bahkan saat hari dimana kita akan bertemu, aku masih saja mencari cara untuk membatalkan pertemuan itu. Waktu itu dia mengajakku menonton film Toy Story. Paginya di hari itu dia menanyakan "hari ini jadi nonton?", aku tak menjawab dengan pasti karena aku sebenarnya ingin mengulur waktu. Aku malah menanyakan kembali hal yang sama "mau jadi nih?", biasanya jika aku membalas seperti itu, orang akan merespon dengan kembali mempertanyakan sampai akhirnya tak jelas. Namun, dia tidak. Dia membalas "hayuuuu, mau jam berapa?" beserta screenshot jadwal tayang film Toy Story yang membuatku benar benar kehabisan ide untuk mengulur-ulur waktu lagi. Akhirnya kuserahkan semuanya pada dia dalam hal memilih jadwal ataupun tempat. 

Setelah selesai persoalan tentang tiket, aku kembali berpikir "aku berangkat gimana nih? Kalau mau dijemput gimana bilangnya ya? Atau ketemu di tempat aja ya?", tapi ternyata aku tak perlu repot repot berpikir tentang hal hal seperti itu. Tepat setelah aku berpikir soal itu, dia kembali mengirimi aku pesan "Mau ketemu dimana? Atau mau aku jemput? Atau takut? Haha". Dia benar benar menjawab pertanyaanku yang bahkan tak aku utarakan. Singkat cerita, aku dijemput lalu kami pergi. Jalanan macet, seperti biasa. Kami banyak mengobrol di perjalanan. Ternyata kami terlambat, setelah 10 menit film diputar, kami baru menemukan tempat untuk parkir haha. Lalu kami bergegas masuk ke studio dan mulai menonton, beruntung kami masih bisa mengikuti cerita filmnya walaupun terlambat.

Selesai menonton, kami memutuskan untuk makan. Waktu itu rasanya memilih tempat makan yang mana saja yang kami lewati, karena memang masih secanggung itu untuk sekadar berdiskusi tentang tempat makan mana yang kami akan datangi. Selesai memesan makanan, sambil menunggu, kami berbagi banyak hal. Saat itu rasanya kami sedang berbagi perjalanan hidup. Dia yang sudah lulus kuliah beberapa tahun lalu dan sudah mencoba bekerja ke berbagai kota, katanya, sampai akhirnya 3 tahun terakhir ini menetap bekerja di kota ini. Dan aku yang masih kebingungan dengan skripsiku saat itu.

Dia baik. Dia punya sesuatu yang menarik. Dia senang sekali tersenyum saat berbicara. Aku senang memperhatikan ia bercerita. Dia lembut sekali. Dia menghargai aku dan sangat menjaga. Dia memperlakukan aku dengan baik. Setidaknya itu kesan pertamaku saat bertemu dengan dia.

Lalu diantarnya aku pulang. Ternyata semakin larut jalanan semakin macet. Dia bertanya "Kamu kenapa mau diajak jalan sama aku, orang asing?", aku tak terima jika sampai ia berpikir bahwa aku selalu semudah itu diajak untuk bertemu, karena itu petama kalinya aku bertemu dengan orang baru yang benar-benar baru aku kenal beberapa hari. Tapi akupun tak punya alasan mengapa aku mau. Aku menjawab apa adanya, aku jelaskan aku tak biasanya seperti itu dan akupun tak mengerti mengapa aku bisa mengiyakan ajakan dia. Lalu dia juga bertanya tentang hubungan terakhir yang aku punya. Kebetulan hubungan terakhirku itu hal yang takkan habis diceritakan karena memang serumit itu. Akhirnya kami mengisi waktu di tengah kemacetan itu dengan aku bercerita tentang hubungan rumitku itu dan dia dengan seksamanya mendengarkan, dia dengan excitednya mendengarkan. Mungkin itu pertama kalinya aku merasakan benar-benar didengarkan. Aku bahkan tak menyangka dia benar-benar ingin tau tentangku.

Akhirnya sampailah kami di dekat kost-ku pada saat itu. Perpisahan malam itu, perpisahan tercanggung dan terkaku yang pernah aku alami haha. Bukannya hal wajar ya aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman? Tapi ia tak menyambutnya dengan bagaimana semestinya bersalaman. Kikuk sekali dan jika diingat sekarang, aku sangat malu dengan kejadian itu. Selama aku berjalan menuju kamarku aku terus berpikir "Pokoknya aku gamau lagi ajak dia salaman sampe dia yang minta duluan", tapi aku juga lalu berpikir "Setelah ini, apa akan ada pertemuan lainnya?".





-Irma Ruby Ardelia-



Aku mulai menulis ini pada awal bulan Agustus 2019,
tapi baru aku publish sekarang hehe.
And I will continue writing the story.

Senin, 14 Januari 2019

Kamu si Kenangan Manis


Selamat pagi untukmu yang jauh di sana. Untukmu yang tiba-tiba aku rindu. Kamu yang tak pernah menyakiti. Kamu yang tak pernah berubah saat itu. Kamu yang benar-benar menjaga dan merawat hatiku sampai akhirnya mungkin kau rasa bukan aku, lalu kau kembalikan hatiku dengan baik baik juga. Sungguh, kamu satu-satunya yang seperti itu sejauh ini.

Aku rindu. Rindu segala hal tentangmu. Tak apa kan? Aku rindu diperlakukan sebaik kamu memperlakukan aku saat itu. Kamu konsisten, tak pernah berubah hingga akhir. Kamu satu-satunya orang yang pernah singgah tanpa meninggalkan kenangan buruk. Setiap mengingatmu perasaanku senang saja, tak ada sesak sama sekali. Terima kasih untuk menjadi seseorang yang sangat baik.

"Kamu hati hati ma"
"Ma mau pergi kemana? Vcall dulu sebentar ya?"
"Kamu ga nyari dokar (donat bakar) ma? Wkwk"
"Kamu sakit ga bilang bilang, males aku"
"Ma aku pusing :("
"Disuruh main ke rumah tuh sama mama"
"Aku ke bandung ma besok"
"Aku mau jual hp ma, kita smsan dulu gapapa ya?"
"Ciee nungguin, udah sana bobo ma"
Tiba-tiba saja teringat percakapan-percakapan denganmu. Sebenarnya tak ada yang spesial, ya kan? Percakapan kita sederhana sekali. Kau tak pernah sekalipun memberi harapan padaku. Kita mengalir saja saat itu. Mungkin karena itu, aku tak merasa sakit, kau tak memberi harapan apapun. Kau lakukan apapun yang kau bisa saat itu tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya. Kau tak pernah menjanjikan apapun. Sehingga akupun tak pernah mengharapkan apapun. Aku senang saat bersamamu, itu saja. Bahkan hingga akhirnya kau memutuskan untuk berhenti, kita tak pernah ribut sama sekali ya, hampir satu tahun itu? Hebat ya kita.

Terima kasih untuk menjadi seseorang yang bertanggung jawab dan konsisten. Kau datang membuatku nyaman dan selalu menunggu-nunggu kabarmu. Tapi tak pernah sekalipun aku menunggu dengan rasa khawatir, karena kau pasti selalu mengabari. Kau sadar bahwa kau sudah mengambil hatiku dan membuatku terbiasa akan hadirmu. Aku senang bahwa keberadaanmu konsisten sejak awal kau datang sampai akhirnya pergi. Kau jaga dan kau rawat hatiku dengan baik. Hingga akhirnya kau memutuskan untuk mengembalikan hatiku. Bohong jika aku bilang perginya kamu itu tak membuatku sulit. Tapi sungguh, kamu benar-benar tak melukai. Kau kembalikan hatiku dengan keadaan yang baik. Terima kasih. Kau kenangan manis.

Aku sebenarnya ingin bercerita sedikit mengapa aku tiba-tiba rindu padamu. Aku rindu karena aku teringat perlakuan baikmu dulu. Sekarang hatiku ini digenggam oleh seseorang yang hatinya aku bahkan tak tau untuk siapa. Seseorang ini berbeda dengan kamu. Kamu yang sederhana dan dia yang rumit. Dia manis sekali dulu, sangat manis. Setiap kali dia berbicara, selalu ada harapan di sana. Aku dibuat terbang oleh harapan-harapannya itu ditambah dengan perlakukan dia yang sangat manis saat itu sehingga aku benar-benar merasa diinginkan. Merasa diinginkan itu perasaan yang sangat menyenangan bukan?

Namun seperti yang aku bilang, dia berbeda denganmu. Dia sekarang telah berubah, tak konsisten sampai akhir sepertimu. Aku sulit sekali mengambil hatiku yang ia genggam. Dia bukan dia yang aku kenal dulu, tapi aku sulit sekali untuk mengendalikan hatiku. Aku benar-benar sudah jatuh untuknya. Aku seperti ia tahan agar tak pergi, namun ia juga tak menunjukkan lagi kepeduliannya terhadapku. Aku sedang menjalani semuanya sendiri sekarang. Sakit dan lelah sekali rasanya. 

Dia mungkin menganggap aku tak tau apa-apa. Padahal aku tau segala hal yang ia lakukan di belakangku. Aku tau semuanya. Dia mungkin menganggapku bodoh. Tapi, aku bodoh memang, karena aku tetap bertahan setelah aku tau semuanya yang terjadi di belakangku. Dia banyak berbohong. Dia terus menutupi satu kebohongan dengan kebohongan lainnya. Dia terkadang lupa dengan apa yang pernah ia katakan padaku dulu, sehingga sekarang mudah sekali untuk tau saat dia berbohong.

Dia bilang dia akan menjaga kepercayaanku. Tapi sepertinya dia salah mengartikan apa itu "menjaga kepercayaan". Dia tetap berbohong sampai sekarang, dia masih saja pergi dengan yang lain. Bedanya, dia sekarang sedang berusaha menutupi semuanya dengan rapat. Dia sedang berusaha untuk mengendalikan wanitanya yang lain itu untuk menyembunyikan diri seperti yang ia pernah minta padaku dulu. Itu yang ia maksud dengan "menjaga kepercayaan"? Tetap berbohong namun berusaha agar aku tak tau. Hati dan pikiran dia itu dimana ya? Jahat dan licik sekali. Tak sadarkah dia kalau dia mematahkan banyak hati? Tak takutkah dia? Entahlah, mungkin dia tak berpikir sampai sejauh itu. Yang ia pikirkan hanya bagaimana ia bisa keluar dari masalah yang ia hadapi sekarang, apapun itu caranya, termasuk dengan terus berbohong. Ia tak berpikir jauh ke depan. 

Tapi setidaknya aku senang bahwa masih ada lelaki sepertimu yang tak menyakiti dengan harapan-harapan palsu. Beruntung sekali wanita yang memiliki kamu kelak. Tetap menjadi kamu yang aku dulu kenal ya. Kita sudah tak pernah berkomunikasi, mungkin hanya sesekali saat kau menonton siaran langsungku di instagram.
"Tiap live lagi makan mulu"
"Makan yang banyak ma, karena pura pura bahagia itu butuh tenaga" katamu.
Terima kasih ya.

Rabu, 09 Januari 2019

Aku (berhenti) menunggu.

Tersiksa.
Aku benci diriku yang seperti ini. Aku benci ketika aku lebih mengikuti hatiku daripada logikaku ataupun mataku yang jelas jelas melihat. Kenapa rasanya sulit sekali untuk melepaskan? Kenapa setiap aku mencoba melupakan malah kamu semakin kuat di ingatan? Hatiku sakit...sangat sakit setiap aku mengingatmu, mengingat apa yang telah aku lihat, mengingat semua hal yang kamu katakan dan mengingat sikapmu yang jelas jauh berbeda sekarang. Aku tau selalu ada kebohongan setiap kamu berbicara, aku bahkan tau kamu sedang berbohong. Tapi kenapa aku, diriku ini, tak bisa menyangkal kata-katamu dan selalu memaksa diri untuk percaya? Aku benci diriku yang seperti ini.

Aku sayang, sungguh. Kamu yang membuatku seperti ini. Kamu yang datang dengan sangat meyakinkan saat itu. Kamu yang selalu bersikap hangat saat itu. Kamu yang selalu membuatku merasa dianggap "ada" saat itu. Kamu yang membuatku sangat senang saat pertama kali kau bilang sayang padaku. Kamu yang selalu membuatku merasa diinginkan saat itu. Kamu yang selalu membuatku merasa kalau kehadiranku kau tunggu-tunggu saat itu. Kamu terlihat sungguh. Kamu terlihat meyakinkan. Kupikir kamu nyata. Kupikir kamu berbeda.

Kamu orang pertama yang membuatku bisa sesayang ini. Kamu orang pertama yang membuatku selalu ingin melakukan segala hal untukmu. Kamu orang pertama yang membuatku lebih memikirkan dirimu daripada diriku sendiri. Kamu orang pertama yang membuatku banyak berpikir. Kamu orang pertama yang bisa membuatku yakin dan berani untuk membiarkanmu datang mengunjungi rumahku dan bertemu keluargaku. Kamu yang pertama. Kamu orang pertama yang aku pertahankan sampai begini.

Kamu tau? Aku tak pernah sesayang ini pada seorang laki-laki sebelumnya. Aku juga tak pernah dibuat sebahagia ini sebelumnya. Tapi kamu juga harus tau, kamu juga orang pertama yang membuatku sepatah ini. Kamu juga orang pertama yang membuatku merasa sesakit dan setersiksa ini. Kamu juga orang pertama yang membuatku tak peduli dengan rasa sakitku hanya untuk mempertahankanmu. Kamu juga orang pertama yang membuatku rela melakukan banyak hal tanpa memikirkan diriku sendiri.

Kulakukan semua yang aku bisa untukmu. Kuberikan semua yang aku punya untukmu. Tak peduli seberapa sering kamu berbohong, seberapa banyak kamu menyakiti, sesakit apa yang aku rasa, saat kau datang membutuhkanku, aku benar-benar tak bisa tak peduli padamu. Aku benar-benar dibuat berpikir olehmu dan segala yang aku lakukan saat itu benar-benar aku lakukan karena kamu. 

Mungkin apa yang aku lakukan tidak sebesar yang orang lain lakukan. Mungkin yang aku berikan tidak sebanyak yang kamu butuhkan atau sebanyak yang orang lain berikan. Tapi sungguh, aku berikan semua yang aku punya. Semua. Aku bahkan tak memikirkan diri sendiri. Aku benar-benar berikan semua yang aku punya dan melakukan segala hal yang aku mampu.

Bukan membangga-banggakan diri sendiri, bukannya aku merasa telah sangat berpengaruh di hidupmu, tapi setelah semua yang aku berikan dan aku lakukan untukmu, apa ini balasannya? Perubahan sikapmu, kehangatanmu yang berganti sangat dingin, ketidakpedulianmu terhadapku. Apakah itu balasannya? Kamu terus bilang kalau hubungan kita masih sama seperti dulu, seperti janji kita di awal dulu. Sulit sekali rasanya untuk percaya kata-katamu itu karena jelas kamu jauh berbeda.

Dua bulan terakhir ini aku semakin tak tau apa-apa tentangmu karena kamu sudah tak mengabari seperti dulu, kamupun tak terlihat tertarik untuk tau kehidupanku bagaimana. Kita seperti sudah berjalan di jalur yang berbeda. Kamu dengan duniamu yang tak ada diriku di sana dan aku dengan duniaku yang kehilangan hadirmu. Kenapa bisa-bisanya dengan telihat sungguh kamu terus meyakinkan kita dan kamu terhadapku masih sama seperti dulu? 

Kamu tau? Aku tau semuanya. Aku tau aku bukan satu-satunya, sedikitpun aku tak pernah berpikir menjadi satu-satunya. Aku tau setiap kamu pergi dengan yang lain, seseorang yang katanya baru kau kenal itu. Sungguh. Aku tau tanpa kau beritahu. Aku juga tau bagaimana kamu dengan dia, seseorang dari masa lalumu itu. Bukan hanya kedua orang itu, yang lainnya pun aku tau. Aku memperhatikan semuanya. Semuanya. Aku memperhatikan bahkan hal hal kecil yang takkan kamu sangka. 

Ceritamu semalam tentang wanita yang katanya baru kamu kenal itu, aku sudah tau. Setiap kata yang kamu katakan tentangnya tadi malam, aku sebenarnya sudah tau. Selama apa kalian kenalpun, aku sudah tau. Kecewa sekali rasanya kamu menjawabku dengan kebohongan, berulang kali aku tanya, tetap kau memilih untuk berbohong. 

Aku mengerti posisiku. Aku somehow mengerti jalan pikiranmu seperti apa. Tapi sungguh, jika memang tak ada lagi aku di hatimu, katakan saja. Jangan memaksakan diri. Aku juga sama sepertimu, aku takkan memaksakan hati atau perasaan orang. Aku mengerti banyak orang di luar sana yang jauh lebih baik dariku, kamu pasti bertemu banyak orang di luar sana dan tak menutup kemungkinan jika kamu akan menemukan yang mungkin membuatmu lebih senang. 

Aku benar-benar tak punya alasan untuk aku berikan padamu untuk membuatmu lebih memilih aku daripada orang lain, karena tak pernah sedikitpun aku merasa lebih baik daripada orang lain, siapapun itu. Tapi suatu saat nanti jika ternyata benar kamu memutuskan untuk pergi dan memilih yang lain, itu akan membuatku sadar dan yakin bahwa kamu memang tak pernah sungguh denganku.

Aku memilihmu saat aku sadar di luar sana pasti banyak yang jauh lebih baik darimu. Aku tetap mempertahankamu dengan tak sedikitpun berpikir untuk mencari yang lain dengan alasan mencari yang lebih baik. Karena menurutku, mencari yang terbaik itu takkan bisa, akan selalu ada yang lebih baik bahkan dari yang terbaik. Saat dirasa sudah menemukan, berhentilah mencari, semuanya hanya tentang bagaimana cara untuk kita konsisten dengan pilihan kita dan berusaha menjadi yang terbaik bagi satu sama lain. Bukan begitu?

Tapi bagimana denganmu, aku tak tau. Bagaimana menurutmu, aku tak tau. Jika aku ditawari satu kemampuan, aku ingin punya kemampuan untuk bisa tau isi hatimu. Karena kamu terlihat sulit sekali untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Aku ingin tau siapa yang ada di hatimu sebenarnya, agar aku yakin harus bersikap seperti apa.

Aku sudah bilang kan? Aku tak bisa jika harus melepaskanmu. Aku tak sanggup. Kecuali kamu yang melepaskanku. Kecuali kamu katakan bahwa kamu tak lagi ingin denganku. Detik itu juga aku akan pergi dan berhenti. Tapi kamu tak begitu, semalam kamu terlihat yakin. Kamu terus mengatakan kamu terhadapku masih sama seperti dulu. Lalu bagaimana bisa aku melepaskan?

Sekarang aku akan mencoba untuk tak banyak berpikir dan mencoba untuk berhenti mencari tau hal hal yang akan menyakiti diriku sendiri. Aku tak mau tau bagaimana di luar sana, aku hanya akan berpegang pada kata-katamu semalam. Aku juga harap kamu cepat menyelesaikan semua yang harus kau selesaikan dengan wanita itu lalu segera pergi meninggalkan, seperti yang kamu bilang. Aku juga akan menahan diri semampuku seperti yang kamu minta.

Jangan tanya mengapa aku sekeras kepala ini. Kamu yang membuatku begini.

Untukmu...
Aku iri dengan dia yang selalu kau ajak senang. Aku kapan?
Aku iri dengan dia yang selalu sempat kau temui bahkan sampai beberapa hari berturut-turut. Aku kapan?
Aku iri dengan dia yang selalu bisa kau antar jemput. Aku kenapa terus dibiarkan menggunakan transportasi online? :")
Aku iri dengan dia yang sudah pernah kau ajak menonton film di bioskop. Kapan kau tunaikan janjimu untuk menonton film denganku?
Aku iri dengan dia yang bisa kau temani seharian sampai larut malam. Aku kenapa kau biarkan sendirian? 
Aku iri dengan dia yang kau ajak ke banyak tempat dalam satu hari. Tak pernahkah ada keinginan sedikit saja untuk membawaku pergi seperti dia?
Dia yang katanya teman biasa kau perlakukan seperti itu. Lalu aku ini apa? Lebih rendah dari teman biasa? :")
Pernahkah saat kau merasa ada atau merasa senang kau teringat aku?
Kenapa hanya menghampiriku saat sulit? Bukan, bukan aku perhitungan atau tak ikhlas. Aku selalu ingin membantu, aku tak bisa tak peduli. Hanya saja...aku juga terkadang ingin kau ajak senang, ingin jadi orang yang kau ingat saat merasa senang.
Sejujurnya, aku tak terlalu butuh kau ajak kesana kemari dan mengeluarkan banyak uang. Dengan kamu yang menyempatkan datang ke tempatku untuk sekadar bertemu melepas rindu, berbagi cerita tentang kehidupan, lalu pergi keluar untuk makan berdua di sekitar tempatku, sungguh, itu sudah sangat membuatku senang.
Hanya saja...aku sedang iri ternyata kau bisa melakukan banyak hal dengan orang lain yang katanya baru kau kenal, yang katanya teman biasa, sedangkan kau tak bisa melakukan hal yang sama denganku. Hehe.

(15/01/2019) Kau lanjutkan saja dengannya atau mungkin dengan yang lain lagi, terserah. Berbahagialah selalu. Aku berhenti saat kau akhirnya memblokirku di whatsapp kemarin. Aku sejak awal sudah bilang kalau aku tak sanggup dan tak bisa jika harus melepaskan duluan. Kemarin itu aku anggap jika kamu benar-benar tak ingin denganku lagi, detik itu juga aku berhenti. Aku tak ada alasan untuk bertahan ataupun mencoba untuk mengejar lagi. Bukan sudah tak peduli atau hilang rasa. Namun, aku hanya tak ingin memaksa orang yang ingin pergi untuk kembali karena aku tak ingin ada kepalsuan atau keterpaksaan nantinya jika dilanjutkan. Aku juga sudah melakukan terlalu banyak hal untuk mempertahankan semuanya selama ini, bahkan diamnya aku pun itu sebuah perjuangan yang aku lakukan. Kamu bayangkan saja, aku diam saat aku selalu tau tiap kau pergi dengan yang lain dan kau berbohong padaku. Aku selalu berusaha bersikap biasa saja terhadapmu seolah-olah aku tak tau apapun. Terbayang sakitnya? Aku harus terus mengiyakan semua kata-katamu yang sudah jelas aku tau kau sedang berbohong. Aku menjadi sebodoh itu untuk mempertahankanmu. Aku lelah. Terima kasih telah membuatku sadar bahwa aku tak berarti apapun, sehingga dengan mudah kau tinggalkan. Kau akhirnya menemukan alasan untuk pergi ya? Seolah-olah aku sudah melakukan hal yang sangat tidak bisa diampuni. Aku ingkar katamu? Aku bahkan tak ingat pernah mengucap janji itu. Aku tak menyangka kamu pergi karena alasan itu. Bagaimana denganku yang selama ini kau bohongi, kau kecewakan dan kau buat menangis? Tak  pernah aku semudah itu mengucap kata pisah. Bahkan di titik terendahku, saat dengan mataku sendiri aku melihat kamu dengan yang lain, aku masih saja bertahan dan mengucap dengan jelas bahwa aku kan menunggu. Aku ingkar katamu? Lalu kamu apa yang katanya akan menjaga kepercayaanku tapi kamu masih saja pergi dengan dia dan terus berbohong padaku. Tak usah mengelak, aku tau semuanya, tanpa kau beritahu, tak peduli seberapa dalam kau sembunyikan, aku tau. Dia membuatmu bahagia ya? Sampai sampai kau temui dia sesering itu. "Saat urusanku dengan dia selesai, aku tinggalkan kok dia!", dengan lantang kau mengucap itu di depanku. Itu hanya salah satu kebohongan yang kamu gunakan untuk keluar dari masalah saat itu kan? Tak heran jika masalah terus berdatangan padamu, karena kau juga terus menyelesaikan setiap masalah yang datang dengan kebohongan. Percayalah, serapat apapun kamu tutupi kebohongan, sedalam apapun kebohongan itu kamu sembunyikan, akhirnya kebohongan itu akan terungkap juga. Tak enak bukan hidup dalam kebohongan seperti itu? Berubahlah. Belajarlah untuk lebih menghargai. Terima kasih ya, entah untuk apa karena aku tak merasa diberi apapun sama sekali selain pelajaran hidup dan pengetahuan bahwa orang sepertimu itu ada. Terima kasih. :)

Selasa, 30 Mei 2017

Charger-ku Rusak

Rumahku di Kota Kuda, kota kecil yang begitu indah. Apalagi setiap hari aku bisa melihat gunung tertinggi di provinsi ini dari belakang rumahku dengan jelas, hehe. Namun, sekarang aku lebih sering tinggal di Kota Kembang karena tuntutan pendidikan, kota yang besar dan jauh berbeda dengan rumahku, begitu juga dengan orang-orang di sana. 

Di Kota Kembang itu sudah ada luka, luka yang timbul dari petualanganku disana, luka yang timbul dari "coba-coba"-ku disana. Ya seharusnya aku fokus belajar, bukan berpetualang, apalagi berpetualang urusan hati, hehe. Perjuangan sekali untuk melupakan kenangan itu. Perjuangan sekali untuk menjadi baik-baik saja di tempat yang memiliki kenangan yang menyakiti hati. Jika bukan karena teman-temanku yang gila mungkin aku tak akan lama bertahan disana. Ah sudahlah, toh nanti aku akan pulang dan aku akan meninggalkan luka itu di Kota Kembang ini, pikirku. 

Di Kota Kuda ini--sebelumnya--tidak pernah ada luka ataupun kenangan buruk. Disini hanya ada kebahagiaan, entah itu dengan keluarga atau dengan teman-teman saat sekolah dulu. Libur kuliah adalah hal yang didambakan dan pulang adalah hal yang selalu ditunggu-tunggu. Mungkin kalian yang tinggal jauh dari rumah karena pendidikan atau pekerjaan tau betul rasanya saat mendapat kesempatan untuk pulang. 

Seperti handphone yang kehabisan battery lalu di-charge kembali sampai penuh. Itulah artinya pulang untukku. Saat sudah merasa sangat jenuh, saat sudah terlalu lelah dengan rutinitas di Kota Kembang, ditambah dengan luka yang tak kunjung hilang ataupun pergi, hanya dengan pulang semuanya akan kembali seperti semula. Kota Kuda yang--tadinya--tidak ada luka adalah charger-ku satu-satunya yang bisa membuat semangatku kembali penuh. Aku selalu menikmati setiap detik perjalanan pulang ke rumah. Membayangkan hal-hal yang menyenangkan.

Namun...setelah ini, apakah rumahku ini akan tetap menjadi charger semangatku? Akankah aku tetap membayangkan hal-hal yang menyenangkan dalam perjalan pulang? Akankah aku tetap menunggu-nunggu waktu pulang? Karena saat ini, disini, di rumahku, sudah ada luka. Luka hasil petualanganku yang sama seperti di Kota Kembang. Bodoh, ya? Hehe.

Beberapa hari ini saja rasanya sulit sekali hanya untuk tidur. Ingatan tentang petualangan beberapa waktu lalu itu terus menempel di pikiranku. Huh. Tidak bisa merasa nyaman di rumah sendiri itu sangat menjengkelkan. Rasanya ingin sekali kembali ke Kota Kembang, setidaknya aku sudah terbiasa dengan luka disana dan aku juga sudah tidak sering mengingat luka itu. Setidaknya ada teman-temanku yang membuatku lupa.

Lalu...setelah ini, kemana aku harus pergi untuk mengisi daya semangatku saat aku jenuh? Kemana aku harus cari charger baruku? Karena untuk menjadi terbiasa dengan sebuah luka itu tidak mudah. Rasanya akan membutuhkan waktu yang lama untuk lupa akan kenangan itu. Menjadi tidak baik-baik saja di rumah itu menyebalkan. Bahkan belum sampai rumah, nantinya saat aku pulang, di perjalanan saja rasanya aku akan sudah sangat tersiksa oleh kenangan itu.

Kamu...tega sekali merusak charger-ku satu-satunya ini.




-Irma Ruby Ardelia-

Kamis, 29 Agustus 2013

Aku butuh kejujuranmu, teman.

Dia temanku, teman terbaikku, dia salah satu teman perempuanku yang terbaik. Dia juga tempat aku untuk mengungkapkan semua perasaan dan masalahku. Terutama tentang perasaanku kepada seorang laki-laki. Dia juga tahu semua perjuanganku untuk mendapatkan laki-laki itu. Bukan hanya sekedar tahu, tapi juga menyaksikannya. Meskipun pada akhirnya aku tidak berhasil mendapatkan laki-laki itu.

Sekarang teman baikku itu mulai bertingkah aneh, dia mulai berbeda. Dia tidak pernah terbuka lagi kepadaku, terutama dalam hal perasaan. Tapi sedikit demi sedikit aku mulai mengetahui alasannya. Lewat kicauan dia di twitter, sudah banyak yang membuatku curiga kepadanya.

Mulai dari dua inisial nama yang disatukan, dua tanggal lahir yang disatukan, dua nama kelas yang disatukan, bahkan dua nomor urut nama yang disatukan. Dua? Ya, itu yang membuatku curiga, karena semuanya terdiri dari dua hal yang disatukan. Kedua itu adalah teman baikku dan seorang laki-laki yang aku sukai.

Bagaimana bisa aku tidak menyadari itu semua? Inisial nama, tanggal lahir, nama kelas, bahkan nomor urut itu adalah hal-hal yang sudah sangat tidak asing lagi di mataku, karena semua itu tentang teman baikku dan laki-laki yang aku sukai.

Jujur, aku kecewa. Bukan karena seorang teman baikku menyukai laki-laki yang selama ini aku sukai, tapi karena seorang temanku yang tega berbuat seperti itu kepadaku. Kenapa harus dia, kenapa harus teman baikku yang melakukan ini? Kenapa setiap aku aku bertanya, dia malah menjawabku dengan kebohongan? Apa aku bukan teman baik dia seperti aku menganggap dia sebagai salah satu teman terbaikku?

Hanya karena aku mengetahui semua itu bukan berarti aku akan marah atau bahkan membenci kamu, seperti yang kamu katakan di kicauan twittermu itu, teman. Sesuka apapun aku kepada laki-laki itu, sesayang apapun aku kepada laki-laki itu, jika aku diminta untuk memilih diantara teman atau laki-laki itu, aku akan memilih kamu, teman. Aku tidak akan membencimu hanya karena masalah sepele ini.

Jadi, cobalah untuk jujur dengan perasaanmu. Katakan semuanya kepadaku dengan baik, jika kamu memang benar-benar teman baikku. Bukankah kejujuran bisa memperbaiki semua permasalahan? Sekalipun kejujuran itu menyakitkan. Karena sangat tidak nyaman hidup dalam kebohongan bukan?
Sebelum orang lain yang memberitahuku tentang ini, aku ingin kamu, langsung dari mulut kamu yang mengatakannya. Itu akan sangat lebih baik, teman baikku...




-Irma Ruby Ardelia-


Jumat, 24 Mei 2013

Mungkin mencintaimu adalah sebuah kesalahan.

Akhirnya... Keputusanku sudah bulat, karena memang tidak ada pilihan lagi. Menyerah adalah keputusan yang kupilih. Mungkin bukan hanya menyerah tapi juga merelakanmu. Sekarang kamu sudah memilikinya, seseorang yang mungkin jauh lebih baik dan pasti bisa membahagiakanmu. Sempurna, tentu saja.

Apa aku sakit? Apa aku kecewa? Tentu saja. Tapi untuk apa? Apa ada yang peduli? Tentu saja tidak. Untuk apa mencintai seseorang yang sedang menikmati setiap detik hidupnya dengan mencintai orang lain. Untuk apa mengharapkan seseorang yang jelas-jelas tidak memperdulikan aku sama sekali. Lelah, mungkin itu saja yang akan aku dapatkan.

Melihatmu bahagia bersamanya, melihatmu tertawa bersamanya menimbulkan rasa sakit disela-sela hatiku, ah tapi sudahlah, siapa peduli perasaanku.

Aku tidak berharap kamu bahagia bersamanya, dan aku juga tidak berharap hubungan kamu akan hancur berantakan. Tapi aku akan tetap berharap apapun itu yang terbaik untukmu. "Aku bahagia melihatmu bahagia bersamanya." kebohongan macam apa itu? Hanya orang-orang munafik yang mengatakan itu! Banyak orang yang bilang cinta itu tidak harus memiliki dan itu salah besar! Dengan adanya rasa cemburu saja sudah terbukti bahwa cinta memang harus memiliki.

Seandainya ini bisa, seandainya hal ini mungkin dilakukan, aku sangat ingin mengulangi waktu. Aku tidak ingin perkenalan singkat ini terjadi. Aku tidak ingin pernah mendengar suaramu saat menyebutkan namamu. Karena berawal dari situlah perasaan ini terbentuk. Perasaan sayang, perasaan yang tak dihiraukan. Hey, dimana kamu simpan hatiku yang selama ini aku berikan padamu?

Ah sudahlah, memang harusnya seperti ini, memang sudah seharusnya aku menerima ini, dan aku juga harus tetap mensyukurinya. Dengan adanya kejadian ini mungkin aku bisa lebih kuat dan tingkat kesabaranku semakin tinggi. Kamu tahu? Aku sedang berjuang setiap hari, setiap detiknya, hanya untuk melupakanmu.




-Irma Ruby Ardelia-